Kamis, 25 November 2010

Etika dibidang Kedokteran

(anton_smc@yahoo.com)

Etika adalah ilmu tentang norma-norma tingkah laku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, “bagaimana seharusnya” manusia bertindak (what ought), menjadi pertanyaan sentral dalam etika. Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia : tentang apa yang “benar”, apa yang “baik”, dan apa yang “tepat”. Etika bertugas menilai kenyataan sekaligus merubahnya ke arah yang benar, baik dan tepat.
Etika (“ethics”) is the discipline - dealing with what is good and what is bad, it is concerned with standards of conducts among people in a social group.
Etika merupakan bagian dari filsafat aksiologi yang mempelajari baik - buruk, salah – benar, pantas – tidak pantas dan sebagainya. Dalam penggunaan sehari – hari ada : moral (“mos” atau “mores” dalam bahasa Latin) yang berarti nilai / norma yang berlaku untuk masyarakat umum atau disebut juga etik dasar, sedangkan etik (rule of conduct) berasal dari bahasa Yunani “ethos”merupakan nilai / norma yang ditentukan dan berlaku untuk kelompok masyarakat tertentu atau disebut juga etik terapan.
Bila etika menggunakan ukuran baik dan buruk ada 7 ukuran yaitu : pertama, Religioisme yaitu melaksanakan perintah Tuhan dan menghindari larangan Tuhan. Kedua, Sosialisme yaitu masyarakat yang menentukan baik dan buruk. Ketiga, Humanisme yaitu menghormati hak azasi memanusiakan manusia. Keempat, Altruisme yaitu perhatian pada kebaikan, kesejahteraan dan kebahagian orang lain. Kelima, Anarkisme yaitu tiap orang dapat menentukan baik-buruk sendiri tanpa usah diatur oleh penguasa. Keenam, Autisme yaitu terbelenggu oleh gagasan dan pemikirannya sendiri atau tidak memperhatikan orang lain. Ketujuh, Hedonisme yaitu baik bila mendatangkan kenikmatan, kepuasan, menengkan diri.
Etika mengenal tiga cara berpikir etis, yaitu : deontologis, teleologis dan kontekstual. Pertama, deontologis adalah cara pikir etik yang mendasarkan diri pada hukum, prinsip, atau norma objektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apapun. Filusuf Immanuel Kant (Jerman) mengajukan patokan tentang prinsip atau hukum bagi etika deontologis, yaitu ukuran objektif untuk menyatakan suatu tindakan itu secara etis “benar” atau “salah”. Pertama, kata Kant, “bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang anda lakukan itu dapat berlaku sebagai hukum yang bersifat universal”. Artinya, apa yang kita lakukan itu “benar” apabila dimanapun dan kapanpun adalah seharusnya dilakukan oleh siapapun. Kedua, apa yang “benar” adalah apabila anda memperlakukan manusia, baik itu orang lain atau diri kita sendiri, di dalam setiap hal, sebagi tujuan, dan bukan sekedar alat. Artinya, suatu tindakan itu pasti “salah”, apabila ia memperlakukan manusia sebagai objek, bukan sebagai subjek yang penuh sebagi manusia. Dua prinsip itulah yang dikenal dengan Imperiatif kategories (kategorisher imperative) Imanuel Kant. Mentaati prinsip berarti benar. Melanggar prinsip, berarti salah. Tidak ada kompromi.
Kedua, teleologis (teleos = tujuan) adalah yang terpenting ialah tujuan, berikut akibat-nya. Cara berpikir ini bukan tida mengacuhkan hukum, tetap mengakui hukum. Batapun “salah”-nya, tetapi kalau berangkat dati tujuan “baik” apalagi akaibatnya “baik”, maka tindakan itu baik secara etis. Sebaliknya betapapun “benar”nya, kalu dilakukan dengan tujuan “jahat”, apalagi berakibat “buruk”, maka ia jahat. Menurut filusuf John Stuart Mill (Inggris) yang beraliran utilitarianisme, mengusulkan sebuah dalil : The greatest good for the greatest number. Yaitu sebuah tindakan dapat dikatakan “baik”, apabila ia bertujuan dan berakibat “membawa kebaikan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang”. Filusuf Aristoteles (Yunani) dalam buku Nicomachean Ethics, ia menulis : “Kebahagiaan adalah sesuatu yang final, serba cukup pada dirinya, dan tujuan dari segala tindakan ….”. Jadi, semua tindakan yang bertujuan dan berakibat pada kebahagiaan manusia adalah “baik”.
Ketiga, konstektual adalah apa yang secara konstektual paling pantas dan paling dapat dipertanggungjawabkan. Tidak ada tindakan ataupun keadaan yang dalam dirinya baik atau jahat, baik atau jahat tergantung konteks situasinya. Josep Fletcher (1966) mengajukan nama : Etika situasi, sedangkan Richard H. Niebuhr dalam bukunya : The Responsible self (1973) memberikan nama lain untuk etika ini : etika tanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar