Jumat, 01 Mei 2009

Persiapan dalam Reproduksi Berbantu (Assisted Reproductive Technology)

Persiapan yang dilakukan dalam program Teknologi Reproduksi Berbantu
Sebelum melakukan teknologi reproduksi berbantu, perlu diperhatikan tiga hal:
1.Sperma.
2.Sel telur atau oosit.
3.Rahim atau uterus.

Sebelum melakukan program teknologi reproduksi berbantu, pasien akan menjalani beberapa tes, antara lain :
1.Laki-laki :
- Analisis semen.
- Pemeriksaan hormon : FSH, testosteron, prolaktin.
- Antibodi antisperma.
- Hepatitis B, Hepatitis C, Klamidia, HIV.


Courtesy Youtube

2.Wanita :
- Histeroskopi.
- Pemeriksaan hormon : FSH, LH, estradiol, prolaktin.
- Uji Lab : TORCH, Hepatitis B, Hepatitis C, HIV.
- Tuberkulosis Pelvis.


Courtesy Youtube

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan perubahan dalam tahap program teknologi reproduksi berbantu mulai dari persiapan pasien, stimulasi ovarium, oocyte retrival, fertilisasi, embryo transfer, luteal support, cryopreservation, dan pre-implantation genetic diagnosis (PGD). Hal tersebut di atas dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sel telur dan embrio yang banyak serta berkualitas baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan program bayi tabung.

1. Persiapan pasien :
Sebelum mengikuti program teknologi reproduksi berbantu pasangan suami istri harus memenuhi kriteria / indikasi yaitu :
a.Infertilitas disebabkan oleh faktor pria yang tidak dapat dikoreksi dengan tindakan operatif / medikamentosa atau tidak dapat diatasi dengan tindakan inseminasi intra uterine.
b.Infertilitas disebabkan oleh faktor tuba yang tidak dapat dikoreksi atau setelah dilakukan operasi rekonstruksi dalam waktu 1 tahun tidak terjadi kehamilan.
c.Infertilitas disebabkan oleh endometriosis yang tidak dapat dikoreksi atau setelah dikoreksi dengan tindakan operasi dilanjutkan inseminasi intra uterine tetapi tidak terjadi kehamilan.
d.Infertilitas yang tidak terjelaskan dalam waktu 3 tahun dan tindakan medikamentosa maupun inseminasi intra uterine tidak menghasilkan kehamilan.
e.Kegagalan fungsi ovarium karena proses kanker dimana sebelumnya sel telur atau embrio telah dibekukan.
f.Adanya penyakit yang diturunkan secara genetik (single gene disease)

Pemeriksaan hormonal pada hari ketiga haid (FSH dan E2) dapat menentukan respon terhadap stimulasi ovarium dan berhubungan dengan keberhasilan program teknologi reproduksi berbantu. Nilai FSH > 12 IU / ml dan E2 > 80 pg / ml mencerminkan respon yang buruk terhadap stimulasi ovarium dan terjadinya kehamilan.
Analisa sperma dilakukan untuk merencanakan tindakan fertilisasi yang akan dilakukan apakah secara konvensional atau dengan menggunakan teknik intra cytoplasma sperm injection (ICSI).


2. Stimulasi Ovarium
Sejak ditemukan preparat gonadotropin pada tahun 1980-an maka tindakan stimulasi ovarium banyak menggunakan obat golongan ini dengan harapan dapat menghasilkan sel telur yang lebih banyak dibandingkan dengan siklus natural. Untuk mencegah lonjakan LH yang prematur diberikan juga GnRH agonis atau GnRH antagonis. Meta analisis antara tahun 1985-1999 menunjukkan bahwa preparat rekombinan FSH memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hMG.


Saat ini banyak metode yang digunakan dalam stimulasi ovarium yang dapat digunakan pada kondisi yang berbeda-beda. Siklus natural pada program teknologi reproduksi berbantu memberikan embryo transfer rate sebesar 45.5 %, on going pregnancy rate 7.2 %, dan cycle cancellation rate sebesar 29 %. Efek samping ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS) dan kehamilan ganda lebih rendah pada siklus natural.
Protokol yang terbanyak digunakan dalam stimulasi ovarium saat ini adalah long protocol dimana dilakukan penekanan terhadap fungsi hipofisis dan ovarium sejak fase midluteal sampai kadar estradiol < 50 pg/ml. Setelah tercapai kondisi tersebut baru dilakukan stimulasi dengan menggunakan gonadotropin. Dosis gonadotropin yang digunakan amat tergantung pada usia pasien, berat badan, nilai FSH, dan jumlah folikel antal.
Protokol lain yang digunakan dalam stimulasi ovarium adalah short protocol dimana pemberian GnRH agonist dilakukan pada hari kedua haid bersamaan dengan pemberian gonadotropin. Dibandingkan dengan long protocol, metode ini memiliki angka kehamilan yang lebih rendah.
Selama proses stimulasi ovarium dilakukan tindakan monitoring untuk memantau jumlah dan pertumbuhan folikel melalui ultrasonografi serta pemeriksaan hormon estradiol. Pengaturan dosis obat, kegagalan stimulasi, penentuan waktu oocyte retrieval sangat tergantung dari monitoring ini. Untuk maturasi oosit 34-36 jam sebelum dilakukan oocyte retrieval dilakukan penyuntikan hCG rekombinan.

Cara :
a.Semasa proses stimulasi ovulasi, beberapa jenis obat digunakan untuk merangsang ovarium menghasilkan beberapa ovum atau telur matang dibandingkan hanya satu untuk setiap bulan dalam keadaan normal. Ini dilakukan karena peluang kehamilan akan meningkat jika lebih banyak embrio yang dimasukkan ke dalam rahim dalam proses IVF / ICSI. Antara obat / hormon yang sering digunakan adalah hMG, FSH, hCG dan GnRH.
b.Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dilakukan pada hari ketiga untuk memastikan tidak terjadi radang atau masalah lain pada ovarium. Sepanjang proses pengovulasian ini juga, keadaan ovarium dan hormon-hormon diperiksa berkala untuk mengantisipasi masalah yang bisa terjadi.
c.Dengan pengawasan keadaan ovarium dan kandungan hormon, Waktu terjadinya pematangan telur dapat diperkirakan. Waktu pengambil telur matang adalah 36-39 jam setelah penyuntikan hormon.
d.Kegagalan teknik TRB bisa terjadi bila pengovulasian tidak menghasilkan jumlah telur yang mencukupi. Antara disebabkan karena kegagalan respon ovarium atas stimulasi yang diberikan dan keadaan ini biasa terjadi pada wanita berumur.
e.Tetapi, jika pengeluaran telur yang terlalu banyak juga bisa menjadi penyebab proses TRB dihentikan. Hal ini demikian karena risiko sindrom hiperstimulasi (hyperstimulation syndrome) menjadi sangat tinggi.


3. Oocyte Retrieval
Tindakan oocyte retrieval dilakukan bila telah dijumpai minimal 3 buah folikel berdiameter 20 mm. Tindakan ini dapat dilakukan transvagina dengan paduan ultrasonografi. Untuk menghilangkan nyeri selama tindakan dapat dilakukan pemberian anestesi atau hanya analgesik saja. Studi randomized clinical trial membuktikan bahwa tindakan oocyte retrieval yang dilakukan dengan anestesia akan mendapatkan jumlah oosit yang lebih banyak dibandingkan dengan analgesia saja, tetapi tidak ada perbedaan dalam kejadian kehamilan. Sedangkan tindakan flushing yang dilakukan selama oocyte retrieval dapat menimbulkan rasa nyeri dan waktu yang diperlukan kerena itu tindakan ini hanya direkomendasikan pada pasien yang memiliki jumlah oosit ≤ 3.
Cara :
a.Pengumpulan telur dilakukan menggunakan USG sebagai panduan. Proses ini dilakukan dengan satu pembedahan kecil dengan anestesi lokal (local anaesthetic). Probe USG beserta jarum khusus dimasukkan melalui vagina. Telur-telur matang kelihatan pada monitor sebagai bulatan hitam.
b.Cairan folikel yang mengandungi telur matang kemudiannya disedot ke dalam jarum khusus kemudian ke dalam cawan petri, sebuah demi sebuah. Teknik yang memerlukan keahlian tinggi ini memerlukan waktu antara 10 hingga 40 menit, bergantung kepada jumlah telur yang ada. Rata-rata sebanyak 4 hingga 16 buah telur dikumpul dari setiap pasien.
c.Cara lama untuk proses ini adalah menggunakan laparoskopi (jarum khusus dimasukkan melalui lubang pada abdomen).

4. Sperm Recovery
Pada kasus dimana sperma tidak bisa didapatkan dari ejakulasi, maka pengambilan sperma akan dilakukan meelalui epididymis atau testis. Biasanya hal ini dilakukan pada kondisi azoospermia. (baik obstruksi maupun non obstruksi), disfungsi ereksi atau kegagalan ejakulasi. Berbagai tindakan operatif pengambilan sperma antara lain :
Percutaneus Epididymal Sperm Aspiration (PESA)
Testicular Sperm Aspiration (TESA)
Testicular Sperm Extraction (TESE)
Microsurgical Epididymal Sperm Aspiration (MESA)


5. Kultur Embrio dan Transfer Embrio
Setelah dilakukan inseminasi maka tindakan selanjutnya adalah melakukan observasi untuk memastikan apakah terjadi fertilisasi atau tidak. Kemudian setiap 24 jam dilakukan penilaian pembelah sel pada embrio. Waktu yang tepat dan stadium embrio yang harus ditransfer sampai saat ini masih terjadi perdebatan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa transfer embrio yang dilakukan pada hari ke 3 akan memberikan kehamilan yang lebih baik dibandingkan hari kedua. Hal yang sama akan terjadi bila transfer embrio dilakukan pada stadium blastocyst (hari ke lima). Walaupun Cochrane review belum menyatakan bahwa blastocyst transfer akan menghasilkan kehamilan yang lebih baik (OR 0.86, 95 % Cl 0.57-1.29).
Saat ini banyak dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan teknik transfer embrio sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan. Beberapa teknik yang sering digunakan antara lain adalah pembersihan serviks, pengisian kandung kencing, penggunaan soft catheter, dummy transfer, dilatasi serviks atau ultrasound guided embryo transfer. Keberhasilan kehamilan akan dinilai 2 minggu pasca transfer embrio.

6. Luteal Support
Pemberian GnRH agonist saat stimulasi ovarium akan menyebabkan defect fase luteal sehingga dapat mengganggu proses implantasi. Untuk mengatasi hal ini diperlukan pemberian hormon progesteron, kombinasi esterogen-progesteron, atau hCG dalam berbagai bentuk sediaan, dosis maupun rute pemberian. Meta analisis membuktikan bahwa pemberian progesteron sama efektif dengan hCG dalam meningkatkan kemungkinan keberhasilan kehamilan pasca IVF. Sedangkan pemberian preparat esterogen oral pasca IVF akan meningkatkan keberhasilan implantasi.